Sabtu, 11 Desember 2010

SILSILAH SEJARAH LELUHUR DI TANAH JAWA

1.KANDJENG NABIJULLOOH ADAM
2.SAJJIDAH SITI CHAWAA
3.KANDJENG NABIJULLOH SJIETS
4.ARFUS
5.KAIFAN
6.MAHLAA’IL
7.BARSU BARZU ABARIN
8.KANDJENG NABIJULLOOH ACHNUCH IDRIES
9.MANUSAKAH
10.MAALIK
11.KANDJENG NABIJULLOOH NUCH ABDUL GHOFFAR 
12.SAM
13.AROM
14..’AOS
15.’AAD
16.TSAMUD
17.RADEN NURTJAHJA
18.SANGIANG NURRASA
19.SANGIANG WENANG
20.SANGIANG WENING
21.SANGIANG TUNGGAL
22.BETARA GURU
23.BETARA WISHNU
24.SRI KATI
25.YANG TRUS TILI
26.MARIGENA
27.RADEN MAMIWASA
28.RADEN SUTOPO
29.RADEN SEKUTREM
30.RADEN SACHRI
31.PALOSORO
32.HABIJOSO
33.PANDU DEWANATA HASTINA
34ARDJUNA
35.ONGKAWIDJAYA
36.PARIKESIT
37.HUDAYANA
38.DJAYA DARMA
39.DJAYA AMIJAYA
40.GENDERAYANA
41.SUMA WIJTIRTA
42.TJITRA SUMA
43.PONTJA DRIA
44.ANGLING DRIA
45.RADJA SELO DJALU
46.SRI MAPUNNGUNG MENDANG KEMULAN
47.GANDHI HAWAN KAHURIPAN
48.RESI GENTOJU DJENGGALA
49.LEMBU AMILUHUR
50.TOBU
51.ROWIS RENGGO DJENGGALA
52.RADEN PRABU LALIJAN PADJAJARAN

RADEN PRABU LALIJAN PADJAJARANBeranak tiga orang yaitu :
1.ARYA BANGAH MADJAPAHIT
2.PRABU GALUH TJIUNG WANARA RATU PADJAJARAN  -->
3.NYAI MAS RATU MAHARADJA SAKTI

ARYA BANGAH MADJAPAHIT BIN RADEN PRABU LALIJAN PADJAJARANMempunyai anak:
1.BRAWIDJAYA ANOM
2.BRAWIDJAYA KAPULANGIR
3.BRAWIDJAYA MANGKUZAMAN
4.BRAWIDJAYA KAKARSI
5.BRAWIDJAYA SUSUHUNAN AGUNG
6.BRAWIDJAYA KERTADATU
7.BRAWIDJAYA SRI MADENGDA
8.BONDAN KEDJAWAN
9.KI GEDE MATARAM
10.PATIH SENOPATI
11.PANGERAN SEDA ING KADJENAR
12.PANGERAN SEDA ING KERAMBIL
13.SULTAN AGUNG MATARAM
14.SUSUHUNAN MATARAM
15.SUSUHUNAN MANGKURAT
16.PANGERAN ANOM DIPATI ANOM

PRABU GALUH TJIUNG WANARA BIN PRABU LALIJAN PADJAJARAN mempunyai puteri bernama :
NYAI MAS RATU PURBASARI nikah dengan LUTUNG KASARUNG 

Beranak cucu :
1.LINGGA MEONG
2.LINGGA WESI
3.LINGGA WASTU
4.PRABU SUSUK TUNGGAL
5.PRABU MUNDING KAWALI
6.PRABU MUNDING WANGI (PRABU SILIWANGI) -->

PRABU SILIWANGI nikah dengan(istri pertama) NYAI MAS RARA SUBANG LARANG Mempunyai anak yaitu :

1.RADJA SENGGARA PRABU KIAN SANTANG HADJI MANSUR
2.GURU GANTANAGAN
3.SRI MANGANA PRABU WALANGSUNGSANG TJAKRA BUANA HADJI ABDUL SOMAD
4.NYAI MAS RATU AJU DALEM RARASANTANG HADJI SJARIFAH

* SRI MANGANA PRABU WALANGSUNGSANG TJAKRA BUANA HADJI ABDUL SOMAD nikah dengan NJAI MAS RATU ENDANG GEULIS BINTI PANDITA DANUWARSIH GUNUNG MERAPI Mempunyai anak yaitu :
A.NJAI MAS RARA PAKUNGWATI
B.PANGERAN TJIREBON

* NYAI MAS RATU AJU DALEM RARASANTANG HADJI SJARIFAH menikah dengan SULTHON HUT MESIR SJARIEF ABDULLOHMempunyai anak kembar yaitu :

A.MACHMUD MISRISJARIEF HIDAJATULLOH
B.SJARIEF NURULLOH SULTHON MESIR

PRABU SILIWANGI nikah dengan(istri kedua) RATU PELAGA INGGRIS Beranak cucu:
1.MUNDING SARI
2.MUNDING SARI KEDUA
3.PRABU PUTJAK UMUM BANTEN GIRANG Mempunyai anak
A.RATU MENDAPAT Mampunyai anak NJAI MAS RATU TANURAN GAGANG
B. SUNAN WANA PADI PARUNGGANGSA TELAGA Mempunyai anak cucu :
a.SUNAN TJIBURANG NURIAH
b.EMBAH DALEM ARYA WANGAGOPARUNA GELAGAH HERANG SUBANG

GURU GANTANGAN BIN PRABU MUNDING WANGI(SILIWANGI)Beranak cucu :

1.LINGGA PAKUAN
2.PANDAHAN
3.DIPATI AKUR SEPUH
4.RADEN SAMBA
5.NJAI MAS KIRANA

NJAI MAS KIRANA nikah dengan PANEMBAHAN GIRILAJA SULTHON HADDAD Mempunyai anak :
A.SULTHON GUSTI
B.PANEMBAHAN GUSTI

PRABU LINNGA PAKUAN BIN GURU GANTANGAN beristri dengan 14 ORANG WANITATiga orang istri diantaranya berasal dari SILUMAN SILEMAN bernama :

1.RATU BANOWATI DALEM AGUNG GUNUNG KROMONG (Istri pertama)Mempunyai anak yaitu: RADEN SAKE
2.RATU PERAMADI PUTIH KUNINGAN
3.RATU PANTIN TIMBANGAN

LELUHUR GELAGAH WANGI DEMAK Prabu Munding Wangi Siliwangi Pedjajaran beranak cucu (dari istri yang pertama)

1.Raden Suruh
2.Prabu Kertawidjaja Ratu Madjapahit

Berputra :
a.Raden Arya Damar
b.Puteri Had
ic.Lembu Peteng Madura
d.Raden Gugur
e.Batoro Katong
f.Adipati Luwanu
g.Djaran Panoleh Sampang
h.Raden Chassan Abu Fattah Surya Alam Zainul Abidin Gelagah wangiDemak(Raden Fatah)

Kamis, 09 Desember 2010

Sejarah Kerajaan Majapahit

Setelah raja S’ri Kerta-negara gugur, kerajaan Singhasa-ri berada di bawah kekuasaan raja Jayakatwang dari Kadiri. Salah satu keturunan penguasa Singhasa-ri, yaitu Raden Wijaya, kemudian berusaha merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya. Ia adalah keturunan Ken Angrok, raja Singha-sa-ri pertama dan anak dari Dyah Le(mbu Tal. Ia juga dikenal dengan nama lain, yaitu Nararyya Sanggramawijaya. Menurut sumber sejarah, Raden Wijaya sebenarnya adalah mantu Ke(rtana-gara yang masih terhitung keponakan. Kitab Pararaton menyebutkan bahwa ia mengawini dua anak sang raja sekaligus, tetapi kitab Na-garakerta-gama menyebutkan bukannya dua melainkan keempat anak perempuan Ke(rtana-gara dinikahinya semua. Pada waktu Jayakatwang menyerang Singhasa-ri, Raden Wijaya diperintahkan untuk mempertahankan ibukota di arah utara. Kekalahan yang diderita Singhasa-ri menyebabkan Raden Wijaya mencari perlindungan ke sebuah desa bernama Kudadu, lelah dikejar-kejar musuh dengan sisa pasukan tinggal duabelas orang. Berkat pertolongan Kepala Desa Kudadu, rombongan Raden Wijaya dapat menyeberang laut ke Madura dan di sana memperoleh perlindungan dari Aryya Wiraraja, seorang bupati di pulau ini. Berkat bantuan Aryya Wiraraja, Raden Wijaya kemudian dapat kembali ke Jawa dan diterima oleh raja Jayakatwang. Tidak lama kemudian ia diberi sebuah daerah di hutan Te(rik untuk dibuka menjadi desa, dengan dalih untuk mengantisipasi serangan musuh dari arah utara sungai Brantas. Berkat bantuan Aryya Wiraraja ia kemudian mendirikan desa baru yang diberi nama Majapahit. Di desa inilah Raden Wijaya kemudian memimpin dan menghimpun kekuatan, khususnya rakyat yang loyal terhadap almarhum Kertanegara yang berasal dari daerah Daha dan Tumapel. Aryya Wiraraja sendiri menyiapkan pasukannya di Madura untuk membantu Raden Wijaya bila saatnya diperlukan. Rupaya ia pun kurang menyukai raja Jayakatwang.
Tidak terduga sebelumnya bahwa pada tahun 1293 Jawa kedatangan pasukan dari Cina yang diutus oleh Kubhilai Khan untuk menghukum Singhasa-ri atas penghinaan yang pernah diterima utusannya pada tahun 1289. Pasukan berjumlah besar ini setelah berhenti di Pulau Belitung untuk beberapa bulan dan kemudian memasuki Jawa melalui sungai Brantas langsung menuju ke Daha. Kedatangan ini diketahui oleh Raden Wijaya, ia meminta izin untuk bergabung dengan pasukan Cina yang diterima dengan sukacita. Serbuan ke Daha dilakukan dari darat maupun sungai yang berjalan sengit sepanjang pagi hingga siang hari. Gabungan pasukan Cina dan Raden Wijaya berhasil membinasakan 5.000 tentara Daha. Dengan kekuatan yang tinggal setengah, Jayakatwang mundur untuk berlindung di dalam benteng. Sore hari, menyadari bahwa ia tidak mungkin mempertahankan lagi Daha, Jayakatwang keluar dari benteng dan menyerahkan diri untuk kemudian ditawan oleh pasukan Cina.
Dengan dikawal dua perwira dan 200 pasukan Cina, Raden Wijaya minta izin kembali ke Majapahit untuk menyiapkan upeti bagi kaisar Khubilai Khan. Namun dengan menggunakan tipu muslihat kedua perwira dan para pengawalnya berhasil dibinasakan oleh Raden Wijaya. Bahkan ia berbalik memimpin pasukan Majapahit menyerbu pasukan Cina yang masih tersisa yang tidak menyadari bahwa Raden Wijaya akan bertindak demikian. Tiga ribu anggota pasukan kerajaan Yuan dari Cina ini dapat dibinasakan oleh pasukan Majapahit, selebihnya melarikan dari keluar Jawa dengan meninggalkan banyak korban. Akhirnya cita-cita Raden Wijaya untuk menjatuhkan Daha dan membalas sakit hatinya kepada Jayakatwang dapat diwujudkan dengan memanfaatkan tentara asing. Ia kemudian memproklamasikan berdirinya sebuah kerajaan baru yang dinamakan Majapahit. Pada tahun 1215 Raden Wijaya dinobatkan sebagai raja pertama dengan gelar S’ri Ke(rtara-jasa Jayawardhana. Keempat anak Kertanegara dijadikan permaisuri dengan gelar S’ri Parames’wari Dyah Dewi Tribhu-wanes’wari, S’ri Maha-dewi Dyah Dewi Narendraduhita-, S’ri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnya-paramita-, dan S’ri Ra-jendradewi Dyah Dewi Gayatri. Dari Tribhu-wanes’wari ia memperoleh seorang anak laki bernama Jayanagara sebagai putera mahkota yang memerintah di Kadiri. Dari Gayatri ia memperoleh dua anak perempuan, Tribhu-wanottunggadewi Jayawisnuwardhani yang berkedudukan di Jiwana (Kahuripan) dan Ra-jadewi Maha-ra-jasa di Daha. Raden Wijaya masih menikah dengan seorang isteri lagi, kali ini berasal dari Jambi di Sumatera bernama Dara Petak dan memiliki anak darinya yang diberi nama Kalage(me(t. Seorang perempuan lain yang juga datang bersama Dara Petak yaitu Dara Jingga, diperisteri oleh kerabat raja bergelar ‘dewa’ dan memiliki anak bernama Tuhan Janaka, yang dikemudian hari lebih dikenal sebagai Adhityawarman, raja kerajaan Malayu di Sumatera. Kedatangan kedua orang perempuan dari Jambi ini adalah hasil diplomasi persahabatan yaang dilakukan oleh Ke(rtana-gara kepada raja Malayu di Jambi untuk bersama-sama membendung pengaruh Kubhilai Khan. Atas dasar rasa persahabatan inilah raja Malayu, S’rimat Tribhu-wanara-ja Mauliwarmadewa, mengirimkan dua kerabatnya untuk dinikahkan dengan raja Singhasa-ri. Dari catatan sejarah diketahui bahwa Dara Jingga tidak betah tinggal di Majapahit dan akhirnya pulang kembali ke kampung halamannya.
Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 digantikan oleh Jayana-gara. Seperti pada masa akhir pemerintahan ayahnya, masa pemerintahan raja Jayana-gara banyak dirongrong oleh pemberontakan orang-orang yang sebelumnya membantu Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit. Perebutan pengaruh dan penghianatan menyebabkan banyak pahlawan yang berjasa besar akhirnya dicap sebagai musuh kerajaan. Pada mulanya Jayana-gara juga terpengaruh oleh hasutan Maha-pati yang menjadi biang keladi perselisihan tersebut, namun kemudian ia menyadari kesalahan ini dan memerintahkan pengawalnya untuk menghukum mati orang kepercayaannya itu. Dalam situasi yang demikian muncul seorang prajurit yang cerdas dan gagah berani bernama Gajah Mada. Ia muncul sebagai tokoh yang berhasil mamadamkan pemberontakan Kuti, padahal kedudukannya pada waktu itu hanya berstatus sebagai pengawal raja (be(ke(l bhayangka-ri). Kemahirannya mengatur siasat dan berdiplomasi dikemudian hari akan membawa Gajah Mada pada posisi yang sangat tinggi di jajaran pemerintahan kerajaan Majapahit, yaitu sebagai Mahamantri kerajaan.
Pada masa Jayana-gara hubungan dengan Cina kembali pulih. Perdagangan antara kedua negara meningkat dan banyak orang Cina yang menetap di Majapahit. Jayana-gara memerintah sekitar 11 tahun, pada tahun 1328 ia dibunuh oleh tabibnya yang bernama Tanca karena berbuat serong dengan isterinya. Tanca kemudian dihukum mati oleh Gajah Mada.
Karena tidak memiliki putera, tampuk pimpinan Majapahit akhirnya diambil alih oleh adik perempuan Jayana-gara bernama Jayawisnuwarddhani, atau dikenal sebagai Bhre Kahuripan sesuai dengan wilayah yang diperintah olehnya sebelum menjadi ratu. Namun pemberontakan di dalam negeri yang terus berlangsung menyebabkan Majapahit selalu dalam keadaan berperang. Salah satunya adalah pemberontakan Sade(ng dan Keta tahun 1331 memunculkan kembali nama Gajah Mada ke permukaan. Keduanya dapat dipadamkan dengan kemenangan mutlak pada pihak Majapahit. Setelah persitiwa ini, Mahapatih Gajah Mada mengucapkan sumpahnya yang terkenal, bahwa ia tidak akan amukti palapa sebelum menundukkan daerah-daerah di Nusantara, seperti Gurun (di Kalimantan), Seran (?), Tanjungpura (Kalimantan), Haru (Maluku?), Pahang (Malaysia), Dompo (Sumbawa), Bali, Sunda (Jawa Barat), Palembang (Sumatera), dan Tumasik (Singapura). Untuk membuktikan sumpahnya, pada tahun 1343 Bali berhasil ia ditundukan.
Ratu Jayawisnuwaddhani memerintah cukup lama, 22 tahun sebelum mengundurkan diri dan digantikan oleh anaknya yang bernama Hayam wuruk dari perkawinannya dengan Cakradhara, penguasa wilayah Singha-sari. Hayam Wuruk dinobatkan sebagai raja tahun 1350 dengan gelar S’ri Rajasana-gara. Gajah Mada tetap mengabdi sebagai Patih Hamangkubhu-mi (maha-patih) yang sudah diperolehnya ketika mengabdi kepada ibunda sang raja. Di masa pemerintahan Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai puncak kebesarannya. Ambisi Gajah Mada untuk menundukkan nusantara mencapai hasilnya di masa ini sehingga pengaruh kekuasaan Majapahit dirasakan sampai ke Semenanjung Malaysia, Sumatera, Kalimantan, Maluku, hingga Papua. Tetapi Jawa Barat baru dapat ditaklukkan pada tahun 1357 melalui sebuah peperangan yang dikenal dengan peristiwa Bubat, yaitu ketika rencana pernikahan antara Dyah Pitaloka-, puteri raja Pajajaran, dengan Hayam Wuruk berubah menjadi peperangan terbuka di lapangan Bubat, yaitu sebuah lapangan di ibukota kerajaan yang menjadi lokasi perkemahan rombongan kerajaan tersebut. Akibat peperangan itu Dyah Pitaloka- bunuh diri yang menyebabkan perkawinan politik dua kerajaan di Pulau Jawa ini gagal. Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa setelah peristiwa itu Hayam Wuruk menyelenggarakan upacara besar untuk menghormati orang-orang Sunda yang tewas dalam peristiwa tersebut. Perlu dicatat bawa pada waktu yang bersamaan sebenarnya kerajaan Majapahit juga tengah melakukan eskpedisi ke Dompo (Padompo) dipimpin oleh seorang petinggi bernama Nala.
Setelah peristiwa Bubat, Maha-patih Gajah Mada mengundurkan diri dari jabatannya karena usia lanjut, sedangkan Hayam Wuruk akhirnya menikah dengan sepupunya sendiri bernama Pa-duka S’ori, anak dari Bhre We(ngke(r yang masih terhitung bibinya.
Di bawah kekuasaan Hayam Wuruk kerajaan Majapahit menjadi sebuah kerajaan besar yang kuat, baik di bidang ekonomi maupun politik. Hayam Wuruk memerintahkan pembuatan bendungan-bendungan dan saluran-saluran air untuk kepentingan irigasi dan mengendalikan banjir. Sejumlah pelabuhan sungai pun dibuat untuk memudahkan transportasi dan bongkar muat barang. Empat belas tahun setelah ia memerintah, Maha-patih Gajah Mada meninggal dunia di tahun 1364. Jabatan patih Hamangkubhu-mi tidak terisi selama tiga tahun sebelum akhirnya Gajah Enggon ditunjuk Hayam Wuruk mengisi jabatan itu. Sayangnya tidak banyak informasi tentang Gajah Enggon di dalam prasasti atau pun naskah-naskah masa Majapahit yang dapat mengungkap sepak terjangnya.
Raja Hayam Wuruk wafat tahun 1389. Menantu yang sekaligus merupakan keponakannya sendiri yang bernama Wikramawarddhana naik tahta sebagai raja, justru bukan Kusumawarddhani yang merupakan garis keturunan langsung dari Hayam Wuruk. Ia memerintah selama duabelas tahun sebelum mengundurkan diri sebagai pendeta. Sebelum turun tahta ia menujuk puterinya, Suhita menjadi ratu. Hal ini tidak disetujui oleh Bhre Wirabhu-mi, anak Hayam Wuruk dari seorang selir yang menghendaki tahta itu dari keponakannya. Perebutan kekuasaan ini membuahkan sebuah perang saudara yang dikenal dengan Perang Pare(gre(g. Bhre Wirabhumi yang semula memperoleh kemenanggan akhirnya harus melarikan diri setelah Bhre Tumape(l ikut campur membantu pihak Suhita. Bhre Wirabhu-mi kalah bahkan akhirnya terbunuh oleh Raden Gajah. Perselisihan keluarga ini membawa dendam yang tidak berkesudahan. Beberapa tahun setelah terbunuhnya Bhre Wirabhu-mi kini giliran Raden Gajah yang dihukum mati karena dianggap bersalah membunuh bangsawan tersebut.
Suhita wafat tahun 1477, dan karena tidak mempunyai anak maka kedudukannya digantikan oleh adiknya, Bhre Tumape(l Dyah Ke(rtawijaya. Tidak lama ia memerintah digantikan oleh Bhre Pamotan bergelar S’ri Ra-jasawardhana yang juga hanya tiga tahun memegang tampuk pemerintahan. Bahkan antara tahun 1453-1456 kerajaan Majapahit tidak memiliki seorang raja pun karena pertentangan di dalam keluarga yang semakin meruncing. Situasi sedikit mereda ketika Dyah Su-ryawikrama Giris’awardhana naik tahta. Ia pun tidak lama memegang kendali kerajaan karena setelah itu perebutan kekuasaan kembali berkecambuk. Demikianlah kekuasaan silih berganti beberapa kali dari tahun 1466 sampai menjelang tahun 1500. Berita-berita Cina, Italia, dan Portugis masih menyebutkan nama Majapahit di tahun 1499 tanpa menyebutkan nama rajanya. Semakin meluasnya pengaruh kerajaan kecil Demak di pesisir utara Jawa yang menganut agama Islam, merupakan salah satu penyebab runtuhnya kerajaan Majapahit. Tahun 1522 Majapahit tidak lagi disebut sebagai sebuah kerajaan melainkan hanya sebuah kota. Pemerintahan di Pulau Jawa telah beralih ke Demak di bawah kekuasaan Adipati Unus, anak Raden Patah, pendiri kerajaan Demak yang masih keturunan Bhre Kertabhu-mi. Ia menghancurkan Majapahit karena ingin membalas sakit hati neneknya yang pernah dikalahkan raja Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Demikianlah maka pada tahun 1478 hancurlah Majapahit sebagai sebuah kerajaan penguasa nusantara dan berubah satusnya sebagai daerah taklukan raja Demak. Berakhir pula rangkaian penguasaan raja-raja Hindu di Jawa Timur yang dimulai oleh Keng Angrok saat mendirikan kerajaan Singha-sari, digantikan oleh sebuah bentuk kerajaan baru bercorak agama Islam.
Ironisnya, pertikaian keluarga dan dendam yang berkelanjutan menyebabkan ambruknya kerajaan ini, bukan disebabkan oleh serbuan dari bangsa lain yang menduduki Pulau Jawa.

KISAH ANGLING DARMA

Prabu Anglingdarma adalah nama seorang tokoh legenda dalam tradisi Jawa, yang dianggap sebagai titisan Batara Wisnu. Salah satu keistimewaan tokoh ini adalah kemampuannya untuk mengetahui bahasa segala jenis binatang. Selain itu, ia juga disebut sebagai keturunan Arjuna, seorang tokoh utama dalam kisah Mahabharata.

Garis silsilah

Anglingdarma merupakan keturunan ketujuh dari Arjuna, seorang tokoh utama dalam kisahMahabharata. Hal ini dapat dimaklumi karena menurut tradisi Jawa, kisah Mahabharatadianggap benar-benar terjadi di Pulau Jawa.
Dikisahkan bahwa, Arjuna berputra Abimanyu. Abimanyu berputra Parikesit. Parikesit berputra Yudayana. Yudayana berputra Gendrayana. Gendrayana berputra Jayabaya. Jayabaya memiliki putri bernama Pramesti, dan dari rahim Pramesti inilah lahir seorang putra bernama Anglingdarma.

Kelahiran

Semenjak Yudayana putra Parikesit naik takhta, nama kerajaan diganti dari Hastina menjadi Yawastina. Yudayana kemudian mewariskan takhta Yawastina kepada Gendrayana. Pada suatu hari Gendrayana menghukum adiknya yang bernama Sudarsana karena kesalahpahaman.Batara Narada turun dari kahyangan sebagai utusan dewata untuk mengadili Gendrayana. Sebagai hukuman, Gendrayana dibuang ke hutan sedangkan Sudarsana dijadikan raja baru oleh Narada.
Gendrayana membangun kerajaan baru bernama Mamenang. Ia kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Jayabaya. Sementara itu, Sudarsana digantikan putranya yang bernama Sariwahana. Sariwahana kemudian mewariskan takhta Yawastina kepada putranya yang bernama Astradarma.
Antara Yawastina dan Mamenang terlibat perang saudara berlarut-larut. Atas usaha pertapa kera putih bernama Hanoman yang sudah berusia ratusan tahun, kedua negeri pun berdamai, yaitu melalui perkawinan Astradarma dengan Pramesti, putri Jayabaya.
Pada suatu hari Pramesti mimpi bertemu Batara Wisnu yang berkata akan lahir ke dunia melalui rahimnya. Ketika bangun tiba-tiba perutnya telah mengandung. Astradarma marah menuduh Pramesti telah berselingkuh. Ia pun mengusir istrinya itu pulang ke Mamenang.
Jayabaya marah melihat keadaan Pramesti yang terlunta-lunta. Ia pun mengutuk negeri Yawastina tenggelam oleh banjir lumpur. Kutukan tersebut menjadi kenyataan. Astradarma pun tewas bersama lenyapnya istana Yawastina.
Setelah kematian suaminya, Pramesti melahirkan seorang putra yang diberi nama Anglingdarma. Kelahiran bayi titisan Wisnu tersebut bersamaan dengan wafatnya Jayabaya yang mencapaimoksa. Takhta Mamenang kemudian diwarisi oleh Jaya Amijaya, saudara Pramesti.

Perkawinan pertama

Setelah dewasa, Anglingdarma membawa ibunya pindah ke sebuah negeri yang dibangunnya, bernama Malawapati. Di sana ia memerintah dengan bergelar Prabu Anglingdarma, atau Prabu Ajidarma.
Anglingdarma sangat gemar berburu. Pada suatu hari ia menolong seorang gadis bernama Setyawati yang dikejar harimau. Setyawati lalu diantarkannya pulang ke rumah ayahnya, seorang pertapa bernama Resi Maniksutra. Tidak hanya itu, Anglingdarma juga melamar Setyawati sebagai istrinya.
Kakak Setyawati yang bernama Batikmadrim telah bersumpah barangsiapa ingin menikahi adiknya harus dapat mengalahkannya. Maka terjadilah pertandingan yang dimenangkan oleh Anglingdarma. Sejak saat itu, Setyawati menjadi permaisuri Anglingdarma sedangkan Batikmadrim diangkat sebagai patih di Kerajaan Malawapati.
Pada suatu hari ketika sedang berburu, Anglingdarma memergoki istri gurunya yang bernama Nagagini sedang berselingkuh dengan seekor ular tampar. Anglingdarma pun membunuh ular jantan sedangkan Nagagini pulang dalam keadaan terluka.
Nagagini kemudian menyusun laporan palsu kepada suaminya, yaitu Nagaraja supaya membalas dendam kepada Anglingdarma. Nagaraja pun menyusup ke dalam istana Malawapati dan menyaksikan Anglingdarma sedang membicarakan perselingkuhan Nagagini kepada Setyawati. Nagaraja pun sadar bahwa istrinya yang salah. Ia pun muncul dan meminta maaf kepada Anglingdarma.
Nagaraja mengaku ingin mencapai moksa. Ia kemudian mewariskan ilmu kesaktiannya berupaAji Gineng kepada Anglingdarma. Ilmu tersebut harus dijaga dengan baik dan penuh rahasia. Setelah mewariskan ilmu tersebut Nagaraja pun wafat.
Sejak mewarisi ilmu baru, Anglingdarma menjadi paham bahasa binatang. Pernah ia tertawa menyaksikan percakapan sepasang cicak. Hal itu membuat Setyawati tersinggung. Anglingdarma menolak berterus terang karena terlanjur berjanji akan merahasiakan Aji Gineng, membuat Setyawati bertambah marah. Setyawati pun memilih bunuh diri dalam api karena merasa dirinya tidak dihargai lagi. Anglingdarma berjanji lebih baik menemani Setyawati mati, daripada harus membocorkan rahsia ilmunya.
Ketika upacara pembakaran diri digelar, Anglingdarma sempat mendengar percakapan sepasang kambing. Dari percakapan itu Anglingdarma sadar kalau keputusannya menemani Setyawati mati adalah keputusan emosional yang justru merugikan rakyat banyak. Maka, ketika Setyawati terjun ke dalam kobaran api, Anglingdarma tidak menyertainya.

Masa hukuman

Perbuatan Anglingdarma yang mengingkari janji sehidup semati dengan Setyawati membuat dirinya harus menjalani hukuman buang sampai batas waktu tertentu sebagai penebus dosa. Kerajaan Malawapati pun dititipkannya kepada Batikmadrim.
Dalam perjalanannya, Anglingdarma bertemu tiga orang putri bernama Widata, Widati, dan Widaningsih. Ketiganya jatuh cinta kepada Anglingdarma dan menahannya untuk tidak pergi. Anglingdarma menurut sekaligus curiga karena ketiga putri tersebut suka pergi malam hari secara diam-diam.
Anglingdarma menyamar sebagai burung gagak untuk menyelidiki kegiatan rahasia ketiga putri tersebut. Ternyata setiap malam ketiganya berpesta makan daging manusia. Anglingdarma pun berselisih dengan mereka mengenai hal itu. Akhirnya ketiga putri mengutuknya menjadi seekor belibis putih.
Belibis putih tersebut terbang sampai ke wilayah Kerajaan Bojanagara. Di sana ia dipelihara seorang pemuda desa bernama Jaka Geduk. Pada saat itu Darmawangsa raja Bojanagara sedang bingung menghadapi pengadilan di mana seorang wanita bernama Bermani mendapati suaminya yang bernama Bermana berjumlah dua orang.
Atas petunjuk belibis putih, Jaka Geduk berhasil membongkar Bermana palsu kembali ke wujud aslinya, yaitu Jin Wiratsangka. Atas keberhasilannya itu, Jaka Geduk diangkat sebagai hakim negara, sedangkan belibis putih diminta sebagai peliharaan Ambarawati, putri Darmawangsa.

Kembali ke Malawapati

Anglingdarma yang telah berwujud belibis putih bisa berubah ke wujud manusia pada malam hari saja. Setiap malam ia menemui Ambarawati dalam wujud manusia. Mereka akhirnya menikah tanpa izin orang tua. Dari perkawinan itu Ambarawati pun mengandung.
Darmawangsa heran dan bingung mendapati putrinya mengandung tanpa suami. Kebetulan saat itu muncul seorang pertapa bernama Resi Yogiswara yang mengaku siap menemukan ayah dari janin yang dikandung Ambarawati.
Yogiswara kemudian menyerang belibis putih peliharaan Ambarawati. Setelah melalui pertarungan seru, belibis putih kembali ke wujud Anglingdarma, sedangkan Yogiswara berubah menjadi Batikmadrim. Kedatangan Batikmadrim adalah untuk menjemput Anglingdarma yang sudah habis masa hukumannya.
Anglingdarma kemudian membawa Ambarawati pindah ke Malawapati. Dari perkawinan kedua itu lahir seorang putra bernama Anglingkusuma, yang setelah dewasa menggantikan kakeknya menjadi raja di Kerajaan Bojanagara.

KISAH KEN AROK

Ken Arok atau sering pula ditulis Ken Angrok (lahir:1182-wafat:1227/1247), adalah pendiri Kerajaan Tumapel (yang kemudian terkenal dengan nama Singhasari) ia memerintah sebagai raja pertama bergelar Rajasa pada tahun 1222-1227 (atau 1247).

ASAL USUL
--------------
menurut naskah paparaton, Ken Arok adalah putra dewa brahma hasil berselingkuh dengan seorang wanita dsa pangkur bernama Ken Ndok, oleh ibunya Ken Arok dibuang disebuah pemakaman sehingga kemudian ditemukan dan diasuh oleh seorang pencuri bernama Lembung, Ken Arok tumbuh menjadi berandalan yang lihai mencuri & gemar berjudi sehingga membebani Lembung banyak berhutang, Lembung pun mengusirnya ia kemudian diasuh oleh Bango Samparan, seorang penjudi pula yang menganggapnya sebagai pembawa keberuntungan.
Ken Arok tidak betah hidup menjadi anak angkat Genuk Buntu istri tertua Bango Samparan, ia kemudian bersahabat dengan Tika anak kepala desa Siganggeng, keduanya pun menjadi pasangan perampok yang ditakuti diseluruh kawasan Kerajaan Kediri.
akhirnya Ken arok bertemu Brahmana dari India bernama Lohgawe yang datang ketanah jawa mencari titisan Wisnu, dari ciri-ciri yang ditemukan Lohgawe yakin kalau Ken arok adalah orang yang dicarinya.

MEREBUT TUMAPEL
------------------------
Tumapel merupakan daerah salah satu bawahan Kerajaan Kediri yang menjadi akuwu (setara camat zaman sekarang) Tumapel saat itu bernama Tunggul Ametung, atas bantuan Lohgawe, Ken Arok dapat diterima bekerja sebagai pengawal Tunggul Ametung.
Ken Arok kemudian tertarik pada Ken Dedes istri Tunggul Ametung yang cantik, apalagi Lohgawe juga meramalkan kalau Ken Dedes akan menurunkan raja-raja tanah jawa, hal itu semakin membuat Ken Arok berhasrat untuk merebut Ken Dedes meskipun tidak direstui Lohgawe.
Ken Arok membutuhkan sebilah keris ampuh untuk membunuh Tunggul Ametung yang terkenal sakti, Bango Samparan pun memperkenalkan Ken Arok pada sahabatnya yang bernama Mpu Gandring dari desa Lulumbung (sekarang Lumbung Pasuruan) yaitu seorang ahli pembuat pusaka ampuh.
Mpu Gandring sanggup membuatkan sebilah keris ampuh dalam waktu setahun, Ken Arok tidak sabar lima bulan kemudian ia datang mengambil pesanan keris yang belum sempurna itu direbut dan ditusukkan ke dada Mpuh Gandring sampai tewas dalam sekaratnya Mpuh Gandring mengucapkan kutukan bahwa keris itu nantinya akan membunuh tujuh orang termasuk Ken Arok sendiri.
kembali ke Tumapel, Ken Arok menjalankan rencana liciknya mula-mula ia meminjamkan keris pusakanya pada Kebo Ijo rekan sesama pengawal, Kebo Ijo dengan bangga memamerkan keris itu sebagai miliknya kepada semua orang yang ia temui sehingga semua orang mengira bahwa keris itu milik Kebo Ijo dengan demikian siasat Ken Arok berhasil.
malam berikutnya, Ken Arok mencuri keris pusaka itu dari tangan Kebo Ijo yang sedang mabuk arak, ia lalu menyusup ke kamar tidur Tunggul Ametung dan membunuh majikannya itu di atas ranjang, Ken Dedes menjadi saksi pembunuhan suaminya namun hatinya luluh oleh rayuan Ken Arok, lagipula Ken Dedes menikah dengan Tunggul Ametung dilandasi rasa keterpaksaan.
pagi harinya, Kebo Ijo dihukum mati karna kerisnya ditemukan menancap pada mayat Tunggul Ametung.
Ken Arok lalu mengangkat dirinya sendiri sebagai akuwu baru di Tumapel dan menikahi Ken Dedes, tidak seorangpun yang berani menentang keputusan itu, Ken Dedes sendiri saat itu sedang mengandung anak Tunggul Ametung.

MENDIRIKAN KERAJAAN TUMAPEL
--------------------------------------------
pada tahun 1222 terjadi perselisihan antara Kertajaya raja kediri dengan para Brahmana, para Brahmana itu memilih pindah ke Tumapel meminta perlindungan Ken Arok yang kebetulan sedang mempersiapkan pemberontak terhadap Kediri, setelah mendapat dukungan mereka Ken Arok pun menyatakan Tumapel sebagai kerajaan merdeka yang lepas dari Kediri, sebagai raja pertama ia bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi.
Kertajaya (dalam pararaton disebut Dhandhang Gendis) tidak takut menghadapi pemberontak Tumapel, ia mengaku hanya dapat dikalahkan oleh Bhatar Siwa, mendengar sesumbar itu, Ken Arok pun memakai gelar Bhatara Siwa dan siap memerangi Kertajaya.
perang antara Kediri dan Tumapel terjadi di dekat desa Ganter, pihak kediri kalah, Kertajaya diberitakan naik ke alam dewa yang mungkin merupakan bahasa kiasan untuk mati.

KETURUNAN KEN AROK
-------------------------------
Ken Dedes telah melahirkan empat orang anak Ken Arok yaitu Mahisa Wonga Teleng, Panji Saprang, Agnibhaya dan Dewi Rimbu.
Ken Arok juga memiliki selir bernama Ken Umang yang telah memberinya empat orang anak pula yaitu Tohjaya, Panji Sudatu, Tuan Wergola dan Dewi Rambi.
selain itu Ken Dedes juga memiliki putra dari Tunggul Ametung yang bernama Anusapati.

KEMATIAN KEN AROK
----------------------------
Anusapati merasa heran pada sikap Ken Arok yang seolah menganak tirikan dirinya padahal ia merasa sebagai putra tertua, setelah mendesak ibunya (Ken Dedes) akhirnya Anusapati mengetahui kalau dirinya memang benar-benar anak tiri bahkan ia juga mengetahui kalau ayah kandungnya bernama Tunggul Ametung telah mati dibunuh Ken Arok.
Anusapati berhasil mendapatkan keris Mpu Gandring yang selama ini disimpan Ken Dedes, ia kemudian menyuruh pembantunya yang berasal dari desa Batil untuk membunuh Ken Arok.
Ken Arok tewas ditusuk dari belakang saat sedang makan sore hari, Anusapati ganti membunuh pembantunya itu untuk menghilangkan jejak.
peristiwa kematian Ken Arok dalam naskah pararaton terjadi pada tahun 1247.

VERSI NAGARAKRETAGAMA
------------------------------------
Nama Ken Arok ternyata tidak terdapat dalam Nagarakretagama(1365) naskah tersebut hanya memberitakan bahwa pendiri kerajaan Tumapel merupakan putra Bhatara Girinatha yang lahir tanpa ibu pada tahun 1182, pada tahun 1222 Sang Girinathaputra mengalahkan Kertajaya raja Kediri, ia kemudian menjadi raja pertama di Tumapel bergelar Sri Ranggah Rajasa ibukota kerajaan tersebut Kutaraja (pada tahun 1254 diganti menjadi Singasari oleh Wisnuwardhana).
Sri Ranggah Rajasa meninggal dunia pada tahun 1227(selisih 20 tahun dibandingkan berita dalam pararaton) untuk memuliakan arwahnya didirikan Candi di Kagenengan dimana ia dipuja sebagai Siwa dan di usana dimana ia dipuja sebagai Buddha.
Kematian Sang Rajasa dalam Nagarakretagama terkesan wajar tanpa pembunuhan, hal ini dapat dimaklumi karna naskah tersebut merupakan sastra pujian untuk keluarga besar Hayam Wuruk sehingga peristiwa pembunuhan terhadap leluhur raja-raja Majapahit dianggap aib.
Adanya peristiwa pembunuhan terhadap Sang Rajasa dalam pararaton diperkuat oleh prasasti Mula Malurung (1255) disebutkan dalam prasasti itu nama pendiri kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa yang meninggal diatas tahta kencana, berita dalam prasasti ini menunjukkan kalau kematian Sang Rajasa memang tidak sewajarnya.

KEISTIMEWAAN KEN AROK
-----------------------------------
Nama Rajasa selain dijumpai dalam kedua naskah sastra diatas juga dijumpai dalam prasasti Balawi yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya pendiri Majapahit tahun 1305, dalam prasasti itu Raden Wijaya mengaku sebagai anggota Wangsa Rajasa, Raden Wijaya adalah keturunan Ken Arok.
Nama Ken Arok memang dijumpai dalam pararaton sehingga diduga kuat merupakan ciptaan si pengarang sebagai nama asli Rajasa, Arok berasal dari kata Rok yang artinya "Berkelahi" Tokoh Ken Arok memang dikisahkan nakal dan gemar berkelahi.
pengarang pararaton sengaja menciptakan tokoh Ken Arok sebagai masa muda Sang Rajasa dengan penuh keistimewaan, kasus yang sama terjadi pula pada Babad Tanah Jawi dimana leluhur raja-raja Kesultanan Mataram dikisahkan sebagai manusia-manusia pilihan yang penuh dengan keistimewaan, Ken Arok sendiri diberitakan sebagai putra Brahma,titisan Wisnu serta penjelmaan Siwa sehingga seolah-olah kekuatan Trimurti berkumpul dalam dirinya.
Terlepas dari benar atau tidaknya kisah Ken Arok dapat ditarik kesimpulan kalau pendiri kerajaan Tumapel hanya seorang rakyat jelata namun memiliki keberanian dan kecerdasan diatas rata-rata sehingga dapat mengantarkan dirinya sebagai pembangun suatu dinasti baru yang menggantikan dominasi keturunan Airlangga dalam memerintah pulau Jawa.

Rabu, 08 Desember 2010

HARIMAU SILIWANGI

Jika kita ke Jawa Barat, kalau kita perhatikan dengan seksama, ada satu nama yang paling sering digunakan di tiap daerah. Baik untuk nama jalan, gedung, stadion, kelompok, institusi atau nama lainnya. Nama tersebut adalah Siliwangi. Setiap tempat di Jawa Barat hampir dipastikan ada jalan yang bernama Siliwangi. Di beberapa tempat digunakan sebagai nama Stadion, Universitas, Kelompok kepemudaan bahkan sampai nama sebuah institusi militer setingkat kodam.
Selanjutnya bila lebih seksama, biasanya nama/kata Siliwangi akan selalu berdampingan dengan Harimau. Seakan-akan gambar/wujud harimau tersebut merupakan kata ganti dari Siliwangi. Gambaran harimau pun cukup beragam, baik cuma diwakili oleh kepalanya, wajahnya maupun gambaran badan harimau secara utuh.
Apa, Siapa itu Siliwangi ?
Siliwangi berasal dari kata Sili(h) dan Wangi. Yang jika diartikan secara utuh adalah Pengganti (Prabu) Wangi. Maksudnya adalah Siliwangi diberikan kepada raja-raja yang menjadi pengganti Prabu Wangi. Sedangkan Prabu Wangi(sutah) sendiri adalah gelar untuk Prabu Niskala Wastu Kancana, raja dari kerajaan Sunda (=Pajajaran) ke-32 sejak Prabu Tarusbawa. Wilayah kerajaannya saat itu kurang lebih meliputi provinsi Lampung, Banten dan Jawa Barat sekarang.
Sudah menjadi pengetahuan umum, terutama bagi masyarakat Jawa Barat, bahwa Siliwangi merupakan gelar bagi raja di kerajaan Pajajaran. Namun belum banyak yang tahu bahwa raja yang mempunyai gelar Siliwangi adalah tidak hanya satu. Setidaknya ada enam raja yang bergelar Siliwangi. Mereka adalah Jaya Dewata, Surawisesa, Dewata Buana, Ratu Sakti, Nilakendra dan Surya Kancana.
Hubungan Siliwangi dan Harimau
Kadang kalau kita renungkan, apa hubungan antara Siliwangi dengan Harimau ? Kenapa seorang manusia sampai digambarkan dengan seekor Harimau ?
Ada sebuah mitos yang saya ketahui sejak kecil, mitos tersebut menceritakan bahwa Prabu Siliwangi saat terdesak oleh musuh, pergi ke Gunung Sancang lalu menjelma menjadi harimau dan akhirnya menghilang (Nga-Hyang). Mitos ini tertutur secara turun temurun, bahkan bisa dipastikan semua masyarakat Sunda tahu tentang mitos ini meskipun dengan beberapa perbedaan versi. Karena begitu meresapnya mitos ini di masyarakat Sunda (Jawa Barat), maka keterkaitan antara nama Siliwangi dan Harimau dapat dipastikan berasal dari mitos ini.
Akibat mitos ini, sampai-sampai sempat saya mereka-reka bahwa orang sunda itu jaman dulunya gagah-gagah sehingga dipersamakan bagai harimau. Dan prabu Siliwangi itu orang yang sakti sehingga dapat menghilang. Rekaan saya itu lebih kurang ada benarnya juga, namun sebagian dari mitos tersebut belum bisa masuk nalar saya. Mungkin ada yang bilang memang orang jaman dulu begitu adanya. Tapi saya rasa setiap mitos ada penjelasan logisnya, ada pemicunya atau ada kisah sebenarnya yang tertutupi oleh pengaruh-pengaruh bunga-bunga cerita dari si petutur, karena mitos ini merupakan kisah lisan yang diwariskan dari mulut ke mulut.
Namun, Apakah benar manusia bisa menjadi harimau ? Apakah benar Prabu Siliwangi menghilang? Siapa Prabu Siliwangi ini?, Apakah benar dia bisa menjelma menjadi harimau dan menghilang?. Untuk itu saya coba melakuka penelitian kecil-kecilan, atau lebih tepatnya mencontek tulisan-tulisan orang lain yang berhubungan dengan ini dan menggabungkannya. Untuk itu saya urai mitos tersebut menjadi 3 masalah pokok. Yaitu Siliwangi, Ngahyang dan Harimau
Prabu Siliwangi
Seperti yang telah ungkap sebelumnya, tokoh yang mempunyai gelar Siliwangi setidaknya ada enam. Selanjutnya dari enam tersebut mana yang diceritakan dalam mitos ? Ada dua Siliwangi yang menurut saya dimungkinkan menjadi tokoh dalam peristiwa Nga-Hyang ini. Pertama adalah Prabu Nilakendra. Ini dikarenakan Nilakendra adalah raja yang terusir dari istana. Carita Parahyangan menyatakan bahwa Nilakendra mengalami "alah prangrang, maka tan nitih ring kadatwan" (kalah perang, maka ia tidak tinggal di keraton).
Serta yang kedua adalah Prabu Surya Kancana. Ini disebabkan karena memang beliaulah raja terakhir Pajajaran. Beliaupun diberitakan tidak berada di istana Pakuan. Ia diberitakan bergelar Pucuk Umum Pulasari yang berarti Panembahan Pulasari (lereng Gunung Palasari Pandeglang).
Dari kedua prabu ini saya cenderung beranggapan bahwa yang diceritakan dalam kisah ini ádalah yang terakhir yaitu Surya Kancana. Alasannya bahwa dengan “hilang-nya” beliau menyebabkan beliau tidak pernah ada penggantinya, karena yang menggantikannya pun jadi gamang akibat tidak jelasnya nasib sang Prabu ini.
Sang Prabu Nga-Hyang
Ngahyang secara harfiah berarti “menjadi Hyang”. Hyang sendiri menurut saya adalah yang di-Agung-kan, diberi derajat yang ”tinggi” dalam sisi spiritual. Sehingga Nga-Hyang berarti meng-agung-kan / di-agung-kan, dalam hal ini berati mendekatkan diri kepada yang maha kuasa. Di sisi lain, beberapa ahli mengartikan Nga-Hyang ini sebagai menghilang dengan proses spiritual yang tinggi. Namun dari catatan sejarah berupa prasasti atau piteket atau yang lainnya, tidak ada yang menyatakan ”Nga-Hyang”.
Jika dihubungkan dengan tidak adanya catatan sejarah mengenai peristiwa ”Nga-Hyang” ini, dapat dianggap bahwa “Nga-Hyang” ini hanyalah merupakan sebutan masyarakat umum tehadap kondisi yang terjadi. Namun jika dihubungkan dengan kejadian yang terjadi saat terakhir Prabu Surya Kencana berkuasa, bagi saya memberi sedikit titik terang. Adapun kejadian tersebut adalah sebagai berikut :
Menurut Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2, pada 8 Mei 1568, Pajajaran runtuh. Saat itu utusan pajajaran (kandaga lante) menitipkan perhiasan kerajaan ke Raja Sumedang (=Geusan Ulun) serta Prabu Siliwangi memberi amanah terakhir yang dikenal dengan Uga Wangsit Siliwangi. Dalam wangsit tersebut Prabu Siliwangi menyatakan ”Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. ................... ”. Artinya kurang lebih ”Kisah kita (=Pajajaran) hanya sampai disini, meskipun kalian semua setia kepadaku! Tapi saya tidak bisa membawa kalian ikut-ikutan (bermasalah), ikut hidup susah, ikut miskin dan kelaparan. .........” .
Dengan peristiwa tersebut bisa disimpulkan bahwa sejak saat itu Prabu Siliwangi menghilang (=tiada kabar berita). Rakyat saat itu juga menyadari bahwa beliau menghilang, dan untuk menyatakan kondisi tersebut masyarakat banyak menyebutnya dengan ”Nga-Hyang” yang kurang lebih berarti hilang untuk mendekatkan diri kepada yang maha kuasa. Sesuai amanat beliau, beliau telah menjadi rakyat jelata, namun entah dimana. Ada kemungkinan menjadi pertapa (resi) untuk mendekatkan diri pada yang kuasa.
Siliwangi Menjadi Harimau
Yang ketiga adalah mitos menjadi harimau. Berdasarkan catatan-catatan sejarah yang ada, tidak ada catatan yang menyatakan bahwa harimau pernah digunakan sebagai lambang kerajaan Sunda ataupun kerajaan pendahulunya Taruma Nagara maupun Salaka Nagara. Adapun binatang yang pernah disebutkan dalam prasasti adalah Gajah dan Lebah. Bahkan Lebah konon menjadi lambang Taruma Nagara jaman Prabu Purnawarman. Sehingga keberadaan atau penggunaan harimau ini menjadi lambang Siliwangi masih sangat kabur, meskipun kemungkinan tentu saja ada namun tak ada bukti sejarah berupa catatan, piteket, prasasti atau sejenisnya dari jaman kerajaan yang bisa direka-reka untuk dihubung-hubungkan.
Sebuah catatan pada jaman Belanda tahun 1687 sedikit membuka tabir mengenai mitos harimau ini. Catatan tersebut menyatakan tentang Laporan Scipio (peneliti asal belanda) pada Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs yang diteruskan kepada atasannya di Belanda yang isinya memberitakan kepercayaan penduduk saat itu. Adapun laporan tersebut berbunyi "dat hetselve paleijs en specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort" (bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja "Jawa" Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau). Laporan tersebut ditulis tanggal 23 Desember 1687.
Catatan tersebut menyebutkan bahwa sudah ada kepercayaan penduduk saat itu yang menyatakan bahwa (bekas) istana pajajaran dijaga oleh sekelompok harimau. Dan menurut catatan, pada tanggal 28 Agustus 1687 pernah ada serangan harimau terhadap rombongan peneliti di daerah tersebut. Karena kelompok harimau tersebut terkesan bagaikan para penjaga (reruntuhan) istana pakuan, maka kelompok harimau tersebut dianggap sebagai jelmaan para prajurit yang sangat setia terhadap Prabu Siliwangi.
Dengan kisah tersebut saya berkesimpulan bahwa sumber mitos harimau siliwangi berawal dari sini. Namun dalam cerita masyarakat ini, harimau tersebut hanya digambarkan sebagai para prajuritnya, Prabu Siliwangi sendiri sama sekali tidak disebut-sebut. Penggambaran harimau ini semakin kuat saat kesatuan militer yang diberi nama siliwangi dan berlambang harimau, sukses mengambil hati masyarakat jawa barat di masa perjuangan kemerdekaan.
Kesimpulan
Jadi dari uraian tersebut penulis berkesimpulan bahwa Prabu Siliwangi yang terakhir memang ”Nga-Hyang”. Namun dalam artian beliau mengundurkan diri secara politik dari hiruk pikuk kerajaan (pada saat itu). Sedangkan untuk mitos Prabu Siliwangi menjadi harimau sepertinya hanyalah sebuah mitos hasil rekaan kisah masyarakat dari mulut ke mulut, dengan dasar adanya kelompok harimau yang bagaikan penjaga istana. Dengan demikian mitos tersebut Prabu Siliwangi nga-hyang dan menjelma menjadi harimau hanyalah sebuah cerita masyarakat yang menggambarkan reruntuhan istana pakuan dengan rekayasa bumbu-bumbu mistis.

MITOS KANGJENG RATU KIDUL

Di dalam karaton banyak ditemukan berbagai macam lambang dalam segi kehidupan, dimulai dari bentuk dan cara mengatur bangunan, mengatur penanaman pohon yang dianggap keramat, mengatur tempat duduk, menyimpan dan memelihara pusaka, macam pakaian yang dikenakan dan cara mengenakannya, bahasa yang harus dipakai, tingkah laku, pemilihan warna dan seterusnya. Karaton juga menyimpan dan melestarikan nilai-nilai lama, mengenal folkfor dan beberapa mitos.
Mitos yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat dan komunitas karaton adalah mitos Kangjeng Ratu Kidul. Kedudukan mitos itu sangat menonjol, karena tanpa mengenal mitos Kangjeng Ratu Kidul, orang tidak akan dapat mengerti makna dari tarian pusaka Bedhaya Ketawang, yang sejak Paku Buwana X naik tahta, setiap setahun sekali tarian itu dipergelarkan. Tanpa mengenal mitos itu makna Panggung Sangga Buwana akan sulit dipahami, demikian pula mengenai tahayul yang dikenal rakyat sebagai lampor.
Terdapat berbagai macam versi mitos Kangjeng Ratu Kidul antara lain berdasarkan cerita pujangga Yosodipuro. Di kerajaan Kediri, terdapat seorang putra raja Jenggala yang bernama Raden Panji Sekar Taji yang pergi meninggalkan kerajaannya untuk mencari daerah kekuasaan baru. Pada masa pencariannya sampailah ia di hutan Sigaluh yang didalamnya terdapat pohon beringin berdaun putih dan bersulur panjang yang bernama waringin putih. Pohon itu ternyata merupakan pusat kerajaan para lelembut (mahluk halus) dengan Sang Prabu Banjaran Seta sebagai rajanya.  
Berdasarkan keyakinannya akan daerah itu, Raden Panji Sekar Taji melakukan pembabatan hutan sehingga pohon waringin putih tersebut ikut terbabat. Dengan terbabatnya pohon itu si Raja lelembut yaitu Prabu Banjaran Seta merasa senang dan dapat menyempurnakan hidupnya dengan langsung musnah ke alam sebenarnya. Kemusnahannya berwujud suatu cahaya yang kemudian langsung masuk ke tubuh Raden Panji Sekar Taji sehingga menjadikan dirinya bertambah sakti.
Alkisah, Retnaning Dyah Angin-Angin adlah saudara perempuan Prabu Banjaran Seta yang kemudian menikah dengan Raden Panji Sekar Taji yang selanjutnya dinobatkan sebagai Raja. Dari hasil perkawinannya, pada hari Selasa Kliwon lahirlah putri yang bernama Ratu Hayu. Pada saat kelahirannya putri ini menurut cerita, dihadiri oleh para bidadari dan semua mahluk halus. Putri tersebut diberi nama oleh eyangnya (Eyang Sindhula), Ratu Pegedong dengan harapan nantinya akan menjadi wanita tercantik dijagat raya. Setelah dewasa ia benar-benar menjadi wanita yang cantik tanpa cacat atau sempurna dan wajahnya mirip dengan wajah ibunya bagaikan pinang dibelah dua. Pada suatu hari Ratu Hayu atau Ratu Pagedongan dengan menangis memohon kepada eyangnya agar kecantikan yang dimilikinya tetap abadi. Dengan kesaktian eyang Sindhula, akhirnya permohonan Ratu Pagedongan wanita yang cantik, tidak pernah tua atau keriput dan tidak pernah mati sampai hari kiamat dikabulkan, dengan syarat ia akan berubah sifatnya menjadi mahluk halus yang sakti mandra guna (tidak ada yang dapat mengalahkannya).
Setelah berubah wujudnya menjadi mahluk halus, oleh sang ayah Putri Pagedongan diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memerintah seluruh wilayah Laut Selatan serta menguasai seluruh mahluk halus di seluruh pulau Jawa. Selama hidupnya Ratu Pagedongan tidak mempunyai pedamping tetapi ia diramalkan bahwa suatu saat ia akan bertemu dengan raja agung (hebat) yang memerintah di tanah Jawa. Sejak saat itu ia menjadi Ratu dari rakyat yang mahluk halus dan mempunyai berkuasa penuh di Laut Selatan.
Kekuasaan Ratu Kidul di Laut Selatan juga tertulis dalam serat Wedotomo yang berbunyi:  
Wikan wengkoning samodra,
Kederan wus den ideri,
Kinemat kamot hing driya,
Rinegan segegem dadi,
Dumadya angratoni,
Nenggih Kangjeng Ratu Kidul,
Ndedel nggayuh nggegana,
Umara marak maripih,
Sor prabawa lan wong agung Ngeksiganda.
Yang artinya : Mengetahui/mengerti betapa kekuasaan samodra, seluruhnya sudah dilalui/dihayati, dirasakan dan meresap dalam sanubari, ibarat digenggam menjadi satu genggaman, sehingga terkuasai. Tersebutlah Kangjeng Ratu Kidul, naik ke angkasa, datang menghadap dengan hormat, kalah wibawa dengan raja Mataram.
 
Ada versi lain dari masyarakat Sunda (Jawa Barat) yang menceritakan bahwa pada jaman kerajaan Pajajaran, terdapat seorang putri raja yang buruk rupa dan mengidap penyakit kulit bersisik sehingga bentuk dan seluruh tubuhnya jelak tidak terawat.Oleh karena itu, Ia diusir dari kerajaan oleh saudara-saudaranya karena merasa malu mempunyai saudara yang berpenyakitan seperti dia. Dengan perasaan sedih dan kecewa, sang putri kemudian bunuh diri dengan mencebur ke laut selatan.    
Pada suatu hari rombongan kerajaan Pajajaran mengadakan slametan di Pelabuhan Ratu. Pada saat mereka tengah kusuk berdoa muncullah si putri yang cantik dan mereka tidak mengerti mengapa ia berada disitu, kemudian si putri menjelaskan bahwa ia adalah putri kerajaan Pajajaran yang diusir oleh kerajaan dan bunuh diri di laut selatan, tetapi sekarang telah menjadi Ratu mahluk halus dan menguasai seluruh Laut Selatan. Selanjutnya oleh masyarakat, ia dikenal sebagai Ratu Kidul.
Dari cerita-cerita mitos tentang Kangjeng Ratu Kidul, jelaslah bahwa Kangjeng Ratu Kidul adalh penguasa lautan yang bertahta di Laut Selatan dengan kerajaan yang bernama Karaton Bale Sokodhomas.

Mitos Pertemuan Kangjeng Ratu Kidul Dengan Penembahan Senopati

Sebelum Panambahan Senopati dinobatkan menjadi raja, beliau melakukan tapabrata di Dlepih dan tapa ngeli. Dalam laku tapabratanya, beliau selalu memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar dapat membimbing dan mengayomi rakyatnya sehingga terwujud masyarakat yang adil dan makmur.
Dalam cerita, pada waktu Panembahan Senopati melakukan tapa ngeli, sampai di tempuran atau tempat bertemunya aliran sungai Opak dan sungai Gajah Wong di dekat desa Plered dan sudah dekat dengan Parang Kusumo, Laut Selatan tiba-tiba terjadilah badai dilaut yang dasyat sehingga pohon-pohon dipesisir pantai tercabut beserta akarnya, ikan-ikan terlempar di darat dan menjadikan air laut menjadi panas seolah-olah mendidih. Bencana alam ini menarik perhatian Kangjeng Ratu Kidul yang kemudian muncul dipermukaan laut mencari penyebab terjadinya bencana alam tersebut.
Dalam pencariannya, Kangjeng Ratu Kidul menemukan seorang satria sedang bertapa di tempuran sungai Opak dan sungai Gajah Wong, yang tidak lain adalah Sang Panembahan Senopati. Pada waktu Kangjeng Ratu Kidul melihat ketampanan Senopati, kemudian jatuh cinta. Selanjutnya Kangjeng Ratu Kidul menanyakan apa yang menjadi keinginan Panembahan Senopati sehingga melakukan tapabrata yang sangat berat dan menimbulkan bencana alam di laut selatan, kemudian Panembahan menjelaskan keinginannya
Kangjeng Ratu Kidul memperkenalkan diri sebagai raja di Laut Selatan dengan segala kekuasaan dan kesaktiannya. Kangjeng Ratu Kidul menyanggupi untuk membantu Panembahan Senopati mencapai cita-cita yang diinginkan dengan syarat, bila terkabul keinginannya maka Panembahan Senopati beserta raja-raja keturunannya bersedia menjadi suami Kangjeng Ratu Kidul. Panembahan Senopati menyanggupi persyaratan Kangjeng Ratu Kidul namun dengan ketentuan bahwa perkawinan antara Panembahan Senopati dan keturunannya tidak menghasilkan anak. Setelah terjadi kesepakatan itu maka alam kembali tenang dan ikan-ikan yang setengah mati hidup kembali.
Adanya perkawinan itu mengandung makna simbolis bersatunya air (laut) dengan bumi (daratan/tanah). Ratu Kidul dilambangkan dengan air sedangkan raja Mataram dilambangkan dengan bumi. Makna simbolisnya adalah dengan bersatunya air dan bumi maka akan membawa kesuburan bagi kehidupan kerajaan Mataram yang akan datang.
Menurut sejarah bahwa Panembahan Senopati sebagai raja Mataram yang beristrikan Kangjeng Ratu Kidul tersebut merupakan cikal bakal atau leluhur para raja Karaton Surakarta Hadiningrat. Oleh karena itu maka raja-raja karaton Surakarta sesuai dengan janji Panembahan Senopati yaitu menjadi suami dari Kangjeng Ratu Kidul. Dalam perkembangannya, raja Paku Buwana III selaku suami Kangjeng Ratu Kidul mendirikan Panggung Sangga Buawana sebagai tempat pertemuannya. Selanjutnya tradisi raja-raja Surakarta sebagai suami Kangjeng Ratu Kidul berlangsung terus sampai dengan raja Paku Buwana X. Alkisah Paku Buwana X yang merupakan suami Ratu Kidul sedang bermain asmara di Panggung Sangga Buwana. Pada saat mereka berdua menuruni tangga Panggung yang curam tiba-tiba Paku Buwana X terpeleset dan hampir jatuh dari tangga tetapi berhasil diselamatkan oleh Kangjeng Ratu Kidul. Dalam kekagetannya itu Ratu Kidul berseru : “Anakku ngGer…………..” (Oh……….Anakku). Apa yang diucapkan oleh Kangjeng Ratu Kidul itu sebagai Sabda Pandito Ratu artinya sabda Raja harus ditaati. Sejak saat itu hubungan mereka berdua bukanlah sebagai suami istri lagi tetapi hubungannya sebagai ibu dan anak, begitu pula terhadap raja-raja keturunan Paku Buwana X.

PANGGUNG SANGGA BUWANA DAN MITOSNYA

Secara mistik kejawen, Panggung Sangga Buwana dipercaya sebagai tempat pertemuan raja-raja Surakarta dengan Kangjeng Ratu Kidul, oleh karena itu letak Panggugu Sangga Buwana tersebut persis segaris lurus dengan jalan keluar kota Solo yang menuju ke Wonogiri. Konon, menurut kepercayaan, hal itu memang disengaja sebab datangnya Ratu Kidul dari arah Selatan.
Pada puncak bangunan Panggung Sangga Buwana yang berbentuk seperti topi bulat terdapat sebuah hiasan seekor naga yang dikendarai oleh manusia sambil memanah. Menurut Babad Surakarta, hal itu bukan sekedar hiasan semata tetapi juga dimaksudkan sebagai sengkalan milir. Bila diterjemahkan dalam kata-kata sengkalan milir itu berbunyi Naga Muluk Tinitihan Janma, yang berarti tahun 1708 Jawa atau 1782 Masehi yang merupakan tahun berdirinya Panggung Sangga Buwana (Naga=8, Muluk=0, Tinitihan=7, dan Janma=1)
Arti lain dari sengkalan milir tersebut adalah: 8 diartikan dengan bentuknya yang segi delapan, 0 yang diartikan dengan tutup bagian atas bangunan yangberbentuk seperti topi, 7 adalah manusia yang mengendarai naga sambil memanah dan 1 diartikan sebagai tiang atau bentuk bangunannya yang seperti tiang.
Namun demikian, sebenarnya nama Panggung Sangga Buwana itu sendiri juga merupakan sebuah sengkalan milir yang merupakan kependekan dari kata Panggung Luhur Sinangga Buwana. Dari nama tersebut lahir dua sengkalan sekaligus yang bila diterjemahkan akan didapati dua jenis tahun yaitu tahun Jawa dan tahun Hijryah. Untuk sengkalan tahun Hijryah, Panggung berarti gabungan dua kata, PA dan AGUNG. Pa adalah huruf Jawa dan Agung adalah besar berarti huruf Jawa Pa besar yaitu angka delapan. Sedangkan Sangga adalah gabungan kata SANG da GA yang merupakan singkatan dari Sang atau sembilan dan Ga adalah huruf Jawa atau angka Jawa yang nilainya satu. Serta kata Buwana yang artinya dunia, yang bermakna angka satu pula. Dengan demikian menunjukkan angka tahun 1198 Hijryah.
Kemudian untuk sengkalan tahun Jawa kata Panggung Luhur Sinangga Buwana. Panggung juga tediri dari PA dan AGUNG yang berarti huruf Jawa Pa besar sama dengan 8. Luhur mempunyai makna tanpa batas yang berarti angka 0. Sinangga bermakna angka 7 dan Buwana bermakna angka 1. Shingga bila digabungkan mempunyai arti yang sama yaitu tahun 1708 Jawa. Kedua tahun tersebut, baik tahun Jawa dan Hijryah bila dimaksukkan atau dikonversikan ke tahun Masehi sama-sama menunjukkan angka 1782, saat pembangunan panggung tersebut.
Pada Panggung Sangga Buwana masih didapati sebuah sengkalan milir yang pada jaman penjajahan Belanda dirahasiakan adanya. Sebab diketahui sengkalan terakhir ini berupa sebuah ramalan tentang tahun kemerdekaan Indonesia, sehingga jelas akan menimbulkan bahaya apabila diketahui oleh Belanda. Selain itu yang namanya ramalan memang tidak boleh secara gegabah diumumkan, mengingat ketakaburan manusia yang dapat ditaksirkan akan mendahului takdir Tuhan.
Sengkalan rahasia yang dimaksud adalah terletak pada puncak atas panggung yang telah disinggung yaitu Naga Muluk Tinitihan Janma. Bentuk dari hiasan tersebut adalah manusia yang naik ular naga tengah beraksi hendak melepaskan anak panah dari busurnya, sedangkan naganya sendiri digambarkan memakai mahkota. Hal ini merupakan
Sabda terselubung dari Sunan PB III yang kemudian ketika disuruh mengartikan kepada seorang punjangga karaton Surakarta yang bernama Kyai Yosodipuro, juga cocok yaitu ramalan tahun kemerdekaan bangsa Indonesia adalah tahun 1945.
Naga atau ular diartikan melambangkan rakyat jelata dan mahkotanya berarti kekuasaan. Dengan demikian keseluruhan sosok naga tersebut menggambarkan adanya kekuasaan ditangan rakyat jelata. Dan gambarkan manusia yang mengendarainya dengan siap melepaskan anak panah diartikan sebagai sasaran, kapan tepatnya kekuasaan berada ditangan rakyat.
Sebenarnya sosok manusia mengendarai naga tersebut dipasang juga untuk mengetahui arah mata angin dan tiang yang berada dipuncaknya dan digunakan untuk penangkal petir. Hal tersebut oleh Kyai Yosodipuro dibaca sebagai sengkalan juga yaitu keblat Rinaras Tri Buwana. Keblat = 4, Rinaras = 6, Tri = 3 dan Buwana = 1 atau tahun 1364 Hijryah, bila dimasukan atau dikonversikan ke tahun Masehi akan menjadi 1945 yang merupakan tahun kemerdekaan bangsa Indonesia. Sayangnya bangunan Sangga Buwana beserta hiasan asli dipuncaknya itu pernah terbakar dilalap api tahun 1954, tetapi hingga sekarang kepercayaan masyarakat dan legenda akan bangunan tersebut tidak pernah punah sehingga mereka tetap menghormati dan menghargainya dengan cara selalu melakukan upacara sesaji atau yang lazim disebut caos dahar pada setiap hari Selasa Kliwon atau Anggoro Kasih, setiap malam Jumat dan saat menjelang upacara-upacara kebesaran karaton.
Bangunan Panggung Sangga Buwana apabila dilihat sebagai sumbu dari bangunan karaton secara keseluruhan yang menghadap ke arah utara, maka semua Bangunan yang berada di sebelah kiri Panggung Sangga Buwana mempunyai hubungan vertikal dan yang sebelah kanan mempunyai hubungan horisontal. Hubungan vertikal tersebut yaitu hubungan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai kegiatan spiritual misalnya : bangunan Jonggring Selaka, Sanggar Palanggatan, Sanggar Segan, Mesjid Bandengan, Mesjid Pudyasana, Mesjid Suranatan, Mesjid Agung, Gereja Protestan Gladag dan Gereja Katolik Purbayan. Sedangkan hubungan horizontal yaitu kegiatan duniawi manusia misalnya Pasar Gading, Pasar Kliwon, Pasar Gedhe, dan sebelah timur lagi terdapat sarana transportasi Begawan Solo.
Panggung Sangga Buwana juga mempunyai arti sebagai penyangga bumi memiliki ketinggian kira-kira 30 meter sampai puncak teratas. Didalam lingkungan masyarakat Solo terdapat sebuah kepercayaan bahwa bangunan-bangunan yang berdiri di kota Solo tidak boleh melebihi dari Panggung Sangga Buwana karena mereka sangat menghormati rajanya dan mempercayai akan kegiatan yang terjadi di puncak bangunan tersebut sehingga apabila ada bangunan yang melanggarnya maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
BENTUK PANGGUNG SANGGA BUWANA
  Bentuk fisik dari Panggung Sangga Buwana adalah segi delapan atau hasta walu dalam istilah Jawa. Bentuk yang segi delapan itu diartikan sebagai hasta brata yang menurut filosifi orang Jawa adalah sifat kepepimpinan, jadi diharapkan setiap pemimpin mempunyai sifat yang demikian. Filsafat Jawa selalu berorientasi pada alam karana dengan alam mereka dapat menikmati hidup dan merasakan komunikasi batin manusia dengan Sang Pencipta. Orang Jawa juga mempercayai bahwa apabila bangunan yang tidak menghiraukan alam lingkungan maka bangunan tersebut akan jauh dari situasi manusiawi.
Ajaran hasta brata atau delapan laku yang merupakan ajaran kepemimpinan bagi setiap manusia. Dari ajaran tersebut diharapkan setiap pemimpin mempunyai sifat-sifat seperti watak kedelapan unsur alam yaitu:
1.                  Matahari yang diartikan sebagai seorang pemimpin harus dapat menjadi sumber hidup orang lain.
2.                  Bulan mengartikan penerangan dalam kegelapan.
3.                  Bintang sebagai petunjuk arah bagi yang tersesat
4.                  Bumi yang maksudnya seorang pemimpin yang baik harus kuat menerima beban hidup yang diterimanya.
5.                  Mendhung diharapkan sebagai pemimpin tidak mempunyai sifat yang tidak pilih kasih.
6.                  Api yang berarti mematangkan yang mentah
7.                  Samodra/Air dimaksudkan bahwa pemimpin harus dapat memahami segala kebaikan dan keburukan
8.                  Angin yang apabila berada dimanapun juga harus dapat membawa kesejukkan.
Seorang pemimpin yang dihormati oleh rakyatnya karena rakyat mengharapkan dengan hadirnya pemimpin yang mempunyai sifat demikian maka mereka pasti akan hidup rukun, tentram dan damai sejahtera.
Dari bentuk fisik bangunan Panggung Sangga Buwana juga melambangkan sebagai simbol lingga yang yang berdampingan dengan yoni yaitu Kori Srimanganti. Dalam kepercayaan agama hindu, lingga dan yoni melambangkan Dewa Shiwa atau Dewa Kesuburan. Simbol lingga dan yoni juga terukir atau terekam dalam bentuk ornamen di Kori Srimanganti yang berarti bahwa sebagai perantara kelahiran manusia yang juga mengingatkan hidup dalam alam paberayan senantiasa bersikap keatas dan kebawah serta ke kanan dan ke kiri. Hal ini semua mengandung arti bahwa manusia harus selalu ingat adanya Yang Menitahkan dan sekaligus mengakui bahwa manusia hanya sebagai yang dititahkan. Sedangkan ke kanan dan ke kiri dapat diartikan manusia selalu hidup bermasyarakat.
Panggung Sangga Buwana yang melambangkan lingga diartikan juga sebagai suatu kekuatan yang dominan disamping menimbulkan lingga-yoni yang juga merupakan lapisan inti atau utama dari urut-urutan bangunan Gapura Gladag di Utara hingga Gapura Gading di Selatan. Lingga dan yoni merupakan kesucian terakhir dalam hidup manusia, hal ini kemudian menimbulkan sangkang paraning dumadi yaitu dengan lingga dan yoni terjadilah manusia. Jadi dengan kata lain kesucian dalam hubungannya dengan filsafat bentuk secara simbolik dapat melambangkan hidup.
Panggung yang dilambangkan sebagai lingga dan Srimanganti sebagai yoni, juga merupakan suatu pasemon atau kiasan goda yang terbesar. Maksudnya, lingga adalah penggoda yoni, dan sebaliknya yoni merupakan penggoda lingga. Seterusnya, panggung dan kori itu juga merupakan lambang yang bisa diartikan demikian: seorang lelaki dalam menghadapi sakaratul maut, yaitu ketika ia hampir berangkat menuju ke hadirat Tuhan, ia akan sangat tergoda oleh wanita atau sebaliknya. Begitu pula sebaliknya wanita, ketika dipanggil Tuhan Yang Maha Kuasa ia pun sangat tergoda atau sangat teringat akan pria atau kekasihnya. Begitulah makna yang terkandung atau perlambang yang terkandung di dalam Panggug Sangga Buwana bersama Kori Srimanganti yang selalu berdekatan.

FUNGSI PANGGUNG SANGGA BUWANA

Versi lain mengatakan bahwa Panggung Sangga Buwana ditilik dari segi historisnya, pendirian bangunan tersebut disengaja untuk mengintai kegiatan di Benteng Vastenburg milik Belanda yang berada disebelah timur laut karaton. Memang tampaknya, walaupun karaton Surakarta tuduk pada pemerintahan Belanda, keduanya tetap saling mengintai. Ibarat minyak dan air yang selalu terpisah jelas kendati dalam satu wadah. Belanda mendirikan Benteng Vastenburg untuk mengamati kegiatan karaton, sedangkan PB III yang juga tidak percaya pada Belanda, balas mendirikan Panggung Sangga Buwana untuk mengintai kegiatan beteng.
Namun tak-tik PB III sempat diketahui oleh Belanda. Setidaknya Belanda curiga terhadap panggung yang didirikan itu. Dan ketika di tegur, PB III berdalih bahwa panggung tersebut didirikan untuk upacara dengan Kangjeng Ratu Kidul semata tanpa tendensi politik sedikitpun.
Lantai teratas merupakan inti dari bangunan ini, yang biasa disebut tutup saji. Fungsi atau kegunaan dari ruang ini bila dilihat secara strategis dan filosofis atau spiritual adalah:
1.         Secara strategis, dapat digunakan untuk melihat Solo dan sekitarnya. Untuk dapat melihat kota Solo dari lantai atas panggung dan tidak sembarangan orang yang dapat menaiki, ada petugas yang memang bertugas untuk melihat dengan menggunakan teropong atau kadang-kadang raja Surakarta sendiri yang melakukan pengintaian. Pada jaman dulu raja sering naik keatas untuk melihat bagaimana keadaan kota, rakyat dan musuh.
2.         Segi filosofi dan spiritualnya, Panggung Sanggga Buwana merupakan salah satu tempat yang mempunyai hubungan antara Kengjeng Ratu Kencono Sari dengan raja Jawa setempat. Hal yang memperkuat keyakinan bahwa raja-raja Jawa mempunyai hubungan dengan Kangjeng Ratu Kidul atau Kangjeng Ratu Kencono Sari yang dipercaya sebagai penguasa laut dalam hal ini di Laut Selatan dan raja sebagai penguasa daratan, jadi komunikasi didalam tingkatan spiritual antara raja sebagai penguasa didaratan dan Kangjeng Ratu Kencono Sari sebagai penguasa lautan dikaitkan dengan letak geografis Nusantara sebagai negara maritim.  

Jadi dapat disimpulkan bahwa ruang tutup saji ini digunakan sebagai:
-                     tempat meditasi bagi raja, karena letaknya yang tinggi dan ruang ini memberikan suasana hening dan tentram
-                     tempat meraga sukma bagi raja, untuk mengadakan pertemuan dengan Kangjeng Ratu Kidul.
-                     Tempat untuk mengawasi keadaan atau pemandangan sekeliling karaton.
Pada lantai teratas digunakan untuk bersemedi raja dan pertemuan dengan Kangjeng Ratu Kidul terdapt dua kursi yang diperuntukkan bagi raja (kursi sebelah kiri) dan Ratu Kidul (kursi sebelah kanan) yang menghadap ke arah selatan. Arah orientasi dari bangunan ini adalah ke selatan; pintu masuk dari arah selatan dengan tujuan untuk menghormati Kangjeng Ratu Kidul sebagai penguasa Laut Selatan. Diantara dua buah kursi terdapat sebuah meja yang digunakan untuk meletakkan panggageman Kangjeng Ratu Kidul didalam sebuah kotak. Pangageman tersebut diganti setiap tahun menjelang acara Jumenengan raja.  
Menurut cerita, pada saat mengadakan pertemuan dengan raja, Kangjeng Ratu Kidul mengenakan pakaiannya dan seketika itu juga beliau berwujud seperti manusia. Setelah pertemuan selesai, Kangjeng Ratu Kidul kembali ke alamnya dengan sebelumnya mengembalikan ageman yang dikenakannya ke dalam kotak.
Didalam ruang tutup saji yang berdiameter kira-kira 6 meter, pada bagian tepat ditengah ruangan terdapat kolom kayu yang secara simbolis menunjukkan bahwa segala kegiatan yang dilakukan di tutup saji mempunyai hubungan dengan Tuhan. Kayu yang digunakan adalah kayu jati yang berasal dari hutan donoloyo yang dianggap angker bagi orang jawa.